Nama : Wildandi Aufa Senna NIM : 1571502770
Di di dalam buku ini adalah kekhawatiran kekecewaan dalam dunia jurnalisme, yang sedang mengalami krisis multidimensi. Sempat terlintas kata-kata ambruk, jebol, dan runtuh yang menunjukan keadaan suram serta penuh konflik. Tanpa nilai, kabur kebohongan berserakan tanpa verifikasi fakta, dan juga tanggung jawab.
BAB 1
INDIKATOR KERUNTUHAN JURNALISME
A. Jurnalisme Bias
Runtuhnya jurnalisme di Indonesia, bagaimana berbagai pihak media mengeluarkan pemberitaan yang berimbang yang disebabkan jurnalisme bias itu yang menyimpang dan ada konglomerasi media yang memiliki pengaruh besar dalam struktur industri dan sistem pemproduksikan informasi berita dari media yang dimilikinya.
B. Jurnalisme dan Amplop Besar
Dalam kedua milist terjadi pro dan kontra. Inti dari isi millist tersebut
Adalah
institusi pemerintah tersebut
menyediakan THR untuk jurnalis yang bertugas atau sehar-hari meliput
aktivitas di institusi pemerintah. Enterpreneur media adalah pengusaha
yang
bukan orang sabar berinvestasi jangka panjang tetapi yang mencari
keuntungan secepatnya dengan memanfaatkan kedekatan dengan kekuasaan.
Kekuasaan
lain yang sangat hebat adalah media. Karenanya jika kekuasaan politik
dan
kekuasaan media bersatu, bersinergis, maka uang dengan sendirinya akan
terus mengalir. Inilah rumus sederhana pengusaha media. Inilah yang
penulis yang disebut
dengan amplop besar. Jumlahnya tak terhitung, tidak ada batasnya, dan
tidak ada serinya.
C. Jurnalisme
copy paste
Kehadiran
teknologi komunikasi dan informasi serta teknologi transportasi menyebabkan
percepatan dan kecepatan dalam segala hal, termasuk dalam dunia jurnalisme,
khususnya berkaitan dengan produksi berita di berbagai media. Berita yang
diambil wartawan media konvensional dari media sosial nyaris tanpa di
verifikasi tetapi langsung dicomot dan diunggah di situs berita tanpa peduli
dengan validitas. Dengan demikian , internet telat menghadirkan berita sama
hanya beda waktu pengunggahannya, bukan beda substansi yang seharusnya ada
dalam setiap berita. Di sisi lain, kemajuan teknologi komunikasi juga
mengakibatkan wartawan menjadi pemalas.
D. Jurnalisme
Pembuat Heboh
Sebuah kejadian yang terjadi dibuat sedemikian organis, sistematik,
dan komprehensif dengan settingan social yang sudah ada.
E.Jurnalisme Tanpa Konfirmasi
Dalam perkembangan yang lebih maju, keseimbangan
dalam berita bukan lagi bersandar pada cover both side, tetapi sudah cover all
sides. Artinya, sebuah berita korupsi yang dimuat di media mau tidak mau, suka
tidak suka harus ada konfirmasi.
Berita Tanpa Verifikasi Fakta
Apa itu verifikasi fakta? Kovach dan Rosentiels
mengatakan bahwa ada lima indikator dalam verifikasi fakta, yaitu :
Wartawan jangan menambah atau mengarang apapun,
Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa,
maupun pendengar, bersikaplah transparan,
Sejujur mungkin tentang metode dan motivas,
Bersandarlah terutama pada reportase sendiri.
Filter Konseptual
F. Jurnalisme, Adakah Etika?
Ahli komunikasi Ibnu Hamad,
ada tiga cara yang dapat digunakan media untuk membuat wacana. Yaitu, signing,
farming, dan priming. Signing adalah pengunaan tanda-tanda bahasa, baik verbal
maupun non-verbal. Framing adalah pemilihan wacana berdasarkan pemihakan dalam
berbagai aspek wacana. Sedangkan priming berarti mengatur ruang atau waktu
untuk mempublikasikan wacana di hadapan khalayak.
BAB II
PENYEBAB KERUNTUHAN JURNALISMEA. Postmodernisme
Postmodernisme dalam konteks sosiologi (perkembangan masyarakat) pertama kali muncul di Amerika Serikat akhir 1980-an. Di Indonesia, ciri masyarakat postmodernisme dideteksi muncul pada era 1990-an. Masyarakat postmodernisme adalah masyarakat yang secara financial, pengetahuan, relasi, dan semua prasyarat masyarakat modern terlampaui. Artinya gejala postmodernisme muncul di berbagai belahan dunia jika masyarakatnya sudah memiliki keterpenuhan material, namun ia kering dari sudut kekayaan batin. Karena modernism berpilarkan rasio, ilmu, dan antropomorphisme.
Cultural Studies
Dalam
cultural studies perspektif teori komunkasi kita harus bertemu dan begelut
dengan pendekatan dekostruksi, hermeunetika, semiotika, makna hegemoni,
postmodernisme, dan realitivitas. Cultural studies diangap disiplin ilmu yang
mementingkan sensasi, menerobos wilayah kajian ilmu lain, antimetode, dan
ultrasubjektif.
Kegaulan Sematik
Kebudayaan (culture),
kata Bambang Sugiharto, adalah salah satu dari dua tiga istilah yang paling
rumit dalam bahasa Inggris. Ia bukan lagi monopoli kajian antropologi. Sekitar
1920, ia baru masuk ke ranah antropologi melalui pemikiran Frans Boas. Kini
konsep kebudayaan melintas ke wilayah politik, sastra, ekologi, kajian,
perdamaian, dan komunikasi.
Futurolog Ziauddin Sardar, mencatat lima karakter utama cultural studies, yaitu;
1 *Cultural bertujuan
meneliti subyek masalah di sekitar praktik budaya dan hubungannya terhadap
kekuasaan.
2 *Memiliki
tujuan yang obyektif dalam memahami budaya dan bentuk-bentuknya yang *kompleks
dan menganalisis konteks sosial dan politik dimana budaya itu sendiri terwujud.
*Obyek studi
dan posisinya adalah kritisisme dan aksi. *Berusaha membuka rekonsiliasi terhadap pengetahuan budaya dan bentuk obyektif budayaMemiliki komiten pada evaluasi etnik masyarakat sosial dan aksi politis barisan radikal.
Sejarah
Salah satu pemicu munculnya cultural
studies adalah kegagalan teori Karl Marx. Bahwa akan muncul revolusi yang
dilakukan kaum proletar. Dari revolusi Marx ini mengidealisasikan muncul suatu
masyarakat tanpa kelas, di satu sisi lain, dan dominasi ekonomi kaum kapitalis
akan berkurang, pada sisi lainnya. Ada dua jalur genealogi cultural studies.
Pertama, melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni. Kedua, yang mendapat
pengaruh poststrukturalisme.
Definisi
Cultural studies merupakan kritik
atas definisi budaya yang mengarah pada “the complex everyday world we all
encounter and through which all move”.
Asumsi Dasar
Semua asumsi dasar dalam kajian
budaya diwarnai oleh pemikiran marxis.
Secara
singkat asumsi cultural studies terdiri dari pertama, culture pervades and invades all facets of human behavior. Kedua, people are part of a his hierarchical of
power.
BAB III
KEMUNCULAN JURNALISME BARU
Citizen Journalism merupakan gagasan
yang ditemukan oleh Jay Rosen, Pew Research Center, Poynter Institute. Mereka
mendiskusikan konsep jurnalistik untuk publik yang bisa menyampaikan isu-isu
yang penting bagi publik.
J.D Laisca mempaparkan jurnalisme
warga kedalam lima tipe. Yaitu, pertama, situs web berita atau informasi
independen, situs berita partisipator murni, situs media kolaboratif, bentuk
lain dari media tipis, dan situs penyiaran pribadi. Kedua, tulisan warga tentang
suatu peristiwa yang dipublikasikan menjadi sebagai bacaan alternatif bagi
masyarakat dari bacaan yang disajikan media tradisional. Ketiga, jurnalisme
warga bisa diakses 24 jam sehari dan tujuh hari satu minggu.
Yang terpenting dari jurnalisme
warga adalah hasil kreasi sendiri. Yakni, tulisan yang berupa reportase,
liputan, wawancara atau opini yang dimuat dalam blog atau media pribadi.
Kooptasi Media
Di balik semua kooptasi media
tradisional banyak juga tulisan warga yang menyengat dan mengingatkan masyarakat
tentang informasi banyak hal. Jika media tradisional tidak mengantisipasinya
dengan tulisan yang dibutuhkan warga, mereka siap-siap gulung tikar. Publik
semakin lama akan berpaling ke jurnalisme warga yang lebih jujur, terbuka, dan
tanpa pamrih. Dengan demikian, jurnalisme warga sebagai alternatif sekaligus
peringatan bagi media tradisional yang sok dengan beragam berita yang sudah
dikonstruksinya.
B
Jurnalisme dan Ideologi
Ideologi kata Raymond Williams
digunakan dalam tiga perangkat. Yakni, pertama sistem keyakinan yang menandakan
kelas tertentu. Kedua, sistem keyakinan ilusioner, dan ketiga, proses umum
produksi makna dan gagasan. Pendapat Williams tersebut hampir sama dengan Ali
Syariati. Menurutnya pertama, ideologi sebagai cara memahami dan menerima alam
semesta, kemaujudan, dan manusia. Kedua, cara memahami dan mengevaluasi segala
benda dan gagasan yang membentuk lingkaran sosial. Terakhir, menyodorokan
usulan, metode, pendekatan, dan ideal untuk mengubah status quo yang tidak memuaskan.
Ideologi memiliki karakteristik yang khas, yakni adanya keyakinan, gagasan,
kelompok tertentu, pandangan menyeluruh, politik, dan bersifat publik.
C Jurnalisme dan Konvergensi Media
Konvergensi
adalah perubahan teknologi, industri, budaya, dan sosial dalam lingkaran media
termasuk di dalamnya budaya kita. Tampaknya media cetak benar-benar tidak akan
mati. Ia akan bermetamorfosis dalam bentuk lain, e-paper. Internetlah
penyebabnya. Dengan kata lain, internet yang semula diprediksi menjadi hantu
penghancur media cetak, kini justru menjadi dewa penyalamat.
Jurnalistik Interpretatif
Konvergensi bukan hanya penyatuan konten sebuah berita
bisa muncul di berbagai media yang berbeda dalam satu perusahaan, tetapi juga
penyatuan dalam satu induk perusahaan media.
Dengan konvergensi media, berita
yang dahulu mengabarkan persitiwa yang sudah terjadi, kini definisi tersebut
berubah menjadi persitwa yang sedang terjadi. Berita interpretatif adalah
sebuah pola berita dimana peristiwa hanya sebagai cantolan berita. Model
jurnalistik interpretatif sudah tidak menggunakan pola piramida terbalik dalam
menyajikan berita.
Jurnalisme dan Krisis Berita
Kita mendapat informasi dan sumber
yang dipercayai dangat berpengaruh pada identitas masa depan.
Konektivitas
global akan menghadirkan kontributor baru dalam rantai pasokan. Ada subkategori
baru yang muncul, yaitu jejaring pakar enkripsi teknis daerah. Jenis baru
wartawan lokal pun berkembang. Wartawan koresponden lokal biasa hari ini adalah
jurnalistik tidak kenal yang dibayar surat kabar untuk melaporkan berita,
bahkan dari negara asing yang tidak stabil. Kategori tambahan pada wartawan
lokal pun muncul, yakni orang-orang yang berfokus mengurusi konten digital dan
sumber online. Ketimbang menantang bahaya di medan.
Jurnalisme
menjadi pilar keempat demokrasi pada abad ke-18 dan 19. Ia menjadi bagian tak
terpisah dari kemuncul suatu sistem sosial dan politik yang lebih demokrasi di
Eropa dan Amerika Utara. Perkembangan jurnalistik selanjutnya adalah sebagai
perusahaan komersial yang berkembang sekitar pertengahan abad ke-19 di Eropa
Barat.
Bisnis surat kabar mencapai puncak
kejayaannya pada abad ke-20. Selain memperoleh keuntungan yang besar, koran pun
mempengerahui kebijakan publik dan memiliki suara dalam politik internasional.
Krisis Jurnalistik
Tampaknya kata
‘krisis’ dalam
jurnalisme diangap terlalu berlebihan. Todd Gitlin menunjukan kondisi
krisis
jurnalisme dengan mengidentifikasi lima indikator. Yaitu, 1. jatuhnya
sirkulasi. 2. jatuhnya pendapatan advertising. 3. difusi perhatian. 4.
krisis yang berwenang. 5. ketidakmampuan atau keengganan jurnalisme
mempertanyakan struktur kekuasaan semua berkontribusi untuk membawa
krisis yang
mendalam jurnalisme. Lima krisis jurnalisme berkaitan dengan waktu,
uang,
otonomi, dan perubahan budaya.
Waktu dan Jurnalisme
Castells (2000) membahas tentang
cara di mana media baru mengubah konsepsi tentang waktu. Castells mengembangkan
gagasan waktu abadi, sebagai ciri dari masyarakat jaringan. Waktu adalah abadi
justru karena tidak bisa lagi dibagi, diukur dan terkotak ke dalam slot
tertentu. Ada beberapa implikasi dan konsekuensi dari perubahan waktu untuk
jurnalisme. Yang paling penting menyangkut pergeseran dari jurnalisme sebagai
penyelidikan atau analisis untuk jurnalisme sebagai publikasi langsung.
Aspek lain krisis jurnalisme adalah
mengenai perubahan budaya. Meskipun perubahan budaya partisipatif dan
kolaboratif telah ada, jurnalisme tradisional, di satu sisi gagal untuk
mengantisipasi perubahan tersebut, di sisi lain, tampaknya ada dalam
penyangkalan tentang mereka.
Internet dan
Jurnalisme
Apa hubungan antara internet dan
krisis jurnalisme? Hubungan ini tampaknya menjadi satu bermasalah. Di satu sisi
internet menampilkan sebagai katalis jika bukan penyebab yang krisis. Di sisi
lain internet adalah solusi untuk krisis ini.
Jurnalisme dan Pencarian Core Mining
Komunikasi mengenal dua madzhab.
Yakni, aliran penyampaian pesan (madzhab transmisi) dan aliran pertukaran makna
(madzhab semiotika). Madhzab transmisi adalah yang tertua. Makanya komunikasi
selalu diidentikan dengan penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan. Pada
madhzab penyampaian pesan adalah media, noise, feedback, dsb.
Sedangkan
aliran pertukaran makna digagas sekitar tiga dekade lalu. Dalam madhzab
transmisi elemen pokoknya adalah komunikator, pesan dan komunikan. Sedangkan
dalam madhzab semiotika elemen dasarnya adalah pengarang, teks, budaya, dan
pembaca. Pesan dalam madhzab semiotika didefinisikan sebagai konstruksi dari
tanda-tanda yang akan memproduksi makna melalui interaksi dengana penerima.
Adapun
langkah yang harus ditempuh untuk menghasilkan makna. Antara lain, pertama
wartawan harus mengerti isu yang ingin ditulis sebelum menulis berita. Kedua,
mebuat kepala berita atau intro artikel yang memikat dan bisa jadi pengantar
untuk pembaca supaya tertarik membaca lebih lanjut. Ketiga, buatlah skala.
Keempat, perluas cerita. Kelima, berilah kutipan yang menarik. Keenam, berikan
latar belakang dari mana awal masalah. Ketujuh, berilah kuliah singkat dengan
menerangkan sisi ilmiah. Kedelapan, pastikan antar paragfraf tidak saling
meninggakan. Kesembilan, posisikan kita sebagai pembaca jangan sebagai pembuat
berita, dan jujur. Kesepuluh, angka tidak menunjukan apa-apa. Kesebelas,
menulis pada tataran yang teknis bukan menulis prinsip-prinsip umum yang
normatif. Keduabelas, pastikan ada makna inti yang akan menghasilan makna
publik. Ketigabelas, cover all sides, bukan cover both sides. Keempatbelas, baca
lagi tulisan yang sudah selesai.
Jurnalisme dan Pertukaran Makna
Berita adalah tulisan, tayangan,
atau siaran tentang fakta dari satu peristiwa atau kejadian yang dimuat atau
disiarkan oleh media massa dengan menggunakan konstruksi
5W + 1H (What, Why, Who, Where, dan When serta How).
Seiring dengan perkembangan teknologi
komunikasi informasi, konstruksi 5W + 1H berkembang menjadi 6W + 1H. Konstruksi
6W + 1H biasanya dilakukan oleh surat kabar dan koran.
Jurnalisme dan Pertukaran Makna
Makna terjadi karena ada tanda. Ada
tiga jenis makna dalam sebuah proses komunikasi. Yaitu, makna si penutur, makna
bagi si pendengar, dan makna tanda yang melekat pada tanda itu sendiri. Dengan
demikian, makna timbul karena ada interaksi antara satu orang atau lebih dalam
konteks tertentu melalui berbagai medium.
Jurnalisme Interpretatif
Para petinggi surat kabar mencari
model alternatif penulisan untuk menyiasati perubahan pola berita sekaligus
menyelamatkan jurnalisme surat kabar. Dari pemikiran itulah muncul jurnalisme
interpretatif. Sebuah model jurnalistik yang berbasis penafsiran terhadap fakta
yang terdapat dalam sebuah peristiwa. Dalam jurnalisme model ini, fakta atau
peristiwa hanya sebagai cantolan berita.
I. Jurnalisme, Agama, dan Pertanggung
jawaban
Indonesia bukan negara sekuler. Pun,
tidak menganut negara agama. Di negeri ini tidak ada agama yang diakui atau
dinafikan. Selama ini agama dipahami secara parsial. Agama hanya dipahami
seperangkat konsep yang mengawang-awang. Agama hanya sebagai seperangkaat moral
sempit yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan tiranik, kemiskinan kultural
dan struktural. Padahal dalam tampak sosiologi-antropologis, kehadiran agama di
kolong jagat untuk membebaskan kaum tertindas. Ia ada untuk membawa umatnya ke
arah kehidupan yang lebih baik. Agama memiliki dua peran mulia, privat dan
publik. Agama adalah problem solver masalah-masalah kemanusiaan.
Kekuatan
Media
Media massa dengan segala perangkat dan kelengkapannya
bukan lagi merupakan kebutuhan masyarakat kontemporer. Ia adalah urat nadi dan
kesadaran. Tidak ada ruang hampa yang lepas dari pengaruh media massa, negatif
atau positif. Menurut Akbar S. Ahmed ada beberapa karakteristik media, yaitu,
pertama media tidak setia dan ingat teman. Kedua, media memperhatikan warna
kulit dan pada lahirnya bersifat rasis. Ketiga, media adalah pengabdian diri
dan bersifat sumbang. Keempat, media massa telah menaklukan kematian. Kelima,
media bersifat demokratis dan mewakili masyarakat umum. Keenam, media telah
membuat fakta menjadi jauh lebih asing daripada fiksi. Ketujuh, media dengan
dingin bersifat netral. Kedelapan, media kuat karena teknologi tinggi.
Kesembilan, media memainkan peran kunci masalah internasional dan akan terus
meningkatkan peran tesebut.
Internet dan
Politik
Sejak kemunculan internet, plus
kemudahan mengaksesnya, berbagai aspek kehidupan masyarakat berubah secara
drastis dan dramatis. Internet pun sering disebut konvergensi media dan media
internal. Hampir semua media cetak dan elektronik membarenginya dengan bentuk
berita online, e-paper, dan live streaming.